BLOGGER TEMPLATES AND Twitter Backgrounds »

logo...

logo...

Jumat, 12 Februari 2010

Keinginanku


Keinginanku

            “AKU PENGEN PUNYA KELUARGA YANG BAHAGIAA” teriakku dalam hati. Ya, sebenarnya aku pengen teriakan itu keras – keras di depan keluargaku agar mereka itu tahu bahwa aku gak suka lihat sikap mereka yang saling mementingkan kepentingan masing – masing tanpa memperdulikan anggota keluarga mereka yang lain. Aku sebenarnya iri dengan teman – temanku yang ayah dan ibunya pasti punya waktu untuk anak – anaknya sekalipun mereka bekerja. Banyak orang bilang aku ini beruntung berada di keluarga yang kaya. Tentu saja aku juga merasa beruntung seperti yang mereka katakan. Aku selalu punya uang untuk membeli sesuatu yang aku inginkan berbeda dengan teman – temanku yang mesti menabung dulu untuk membeli sesuatu yang mereka inginkan. Tapi sekarang aku merasa aku ga seberuntung seperti yang mereka pikiran. Harus ada yang dibayar dari keberuntungan ku soal kekayaan keluargaku itu. Bayarannya adalah ketidak harmonisan didalam keluarga. Mereka sibuk masing – masing pulang kerumah hanya untuk beristirahat. Pulang makan malam masuka kamar tidur deh. Itu dia kegiatan ayah dan ibuku setiap hari. Mereka itu mikir gak sih kalau sebenarnya aku ini kesepian. Aku pengen sekali kali merka mendengarkan aku bercerita tentang kehidupan aku di sekolah. Selama 15 tahun aku berharap mereka memperhatikan ku tapi hasilnya sia – sia belaka.
            “Ngapain kamu disitu?” Tanya seorang cewek yang tiba – tiba muncul di belakangku. Cewek ini sepertinya seumuran denganku. Tapi dia lebih tinggi beberapa senti dari aku. Tampangnya kelihatan lusuh. Ditangannya menenteng tas berisi koran.
            “Eh, aku?? Ngapain kamu tanya – tanya?? Terserah aku kan mau dimana ini kan tempat umum.” Kataku
            “Iya sih ini tempat umum. Tapi aku hanya aneh aja liat kamu bawa koper kayak gitu. Jadi kupikir kamu nyasar.Atau …” Kata cewek itu lagi dia mulai mengamati aku dari atas sampai bawah. Dia juga melirik koper disebelahku.
            “Atau apa?? Ngaco deh kamu. Sudah sana pergi.” Kataku segera sebelum dia benar – benar menyadari bahwa aku sedang kabur dari rumah.
            “Ih, ngapain kamu nyuruh aku pergi ini kan tempat umum bukan rumah kamu kok kamu seenaknya ngusir aku??” Balas cewek itu gak mau kalah. Sial dia kayaknya sedang membalikkan kata – kata aku tadi. “Kamu kabur dari rumah ya??” Lanjut cewek itu. Sial dia berhasil menebak. Aku diam sebentar. Aku memang kabur dari rumah karena itu sekarang aku gak tau mau kemana jadi aku duduk saja di taman. Berjalan kaki sambil meneteng koper seperti ini membuat aku capek.
            “Gak punya tujuan?? Cape?? Ya udah pulang aja kalau gitu kok repot banget sih.” Lanjut cewek itu melihat aku gak menjawab pertanyaanya yang tadi.
            “Eh, kamu jangan suruh – suruh aku pulang ya. Kamu itu gak ngerti perasaan aku jadi jangan sok tau deh nyuruh – nyuruh aku pulang segala.” Kataku gak mau kalah.
            “Aku ngasik saran aja kok. Daripada kamu disini ini udah malam bahaya tau disini. Banyak preman. Mereka pasti bentar lagi datengin kamu apalagi kamu kelihatannya anak orang kaya makanan lezat tuh buat mereka.” Kata cewek itu sambil menujuk kumpulan orang yang memang dari tadi terus menerus melihat kearah ku dan cekikan sambil ngelihatin aku.
            “Udah ya. Hati – hati aku kalau aku bilang.” Kata cewek itu segera beranjak pergi. Kulihat lagi ke arah kumpulan orang – orang yang ditunjuk cewek itu yang katanya preman. Mereka mulai berdiri dan tetap cekikan. Tanpa piker panjang kutenteng koperku dan segera berlari mengikuti cewek itu. Setelah berjalan cukup lama akhirnya cewek itu berhenti di sebuah rumah. Cewek itu menatap aku sebentar dan tatapan matanya mengisyaratkan untuk tunggu di luar. Jadi aku nurut aja aku meletakkan koperku di lantai dan duduk di sebelah koperku lalu cewek itu masuk ke dalam rumah itu dan gak lama kemudian dia keluar dengan muka gembira dan gak lagi menenteng tas yang berisi koran.
            “Kamu ngapain ngikutin aku??” Kata cewek itu sambil duduk disebelahku.
            “Habisnya aku takut sih sendirian disana. Kamu juga sih nakut – nakutin aku bilang kalau orang – orang itu preman.”
            “Loh, memang gitu kok. Tiap hari aku pulang selalu lewat sana dan kulihat mereka sering kali memalaki orang – orang yang lewat disana.”
            “Sering?? Kok kamu gak??”
            “Aku?? Dipalaki?? Ya gak lah orang aku udah bayar uang keamanan ama mereka.” Kata cewek itu sambil menghitung uangnya.
            “Uang keamanan?? Aneh – aneh aja deh.”
            Cewek itu bediri dan segera berjalan meninggalkan aku. Aku pun cepat – cepat berdiri dan menenteng tasku mengikuti cewek itu. Belum jauh berjalan cewek itu berhenti dan menoleh kearahku.
            “Aku ini orang jahat loh. Aku ini komplotan mereka makanya aku gak dipalakin juga. Dan kamu tau kamu itu sudah masuk perangkap kami.” Kata cewek itu nyengir. Mendengar itu aku mundur beberapa langkah karena takut aku sudah bersiap – siap akan berlari menjauh dari cewek itu dan mencari pertolongan. Tapi belum sempat aku berlari menjauhi cewek itu. Cewek itu dengan cepat memegangi tanganku dan dia tertawa terbahak – bahak. Aku yang melihatnya jadi ikut tertawa sekaligus ngeri.
            “Kamu takut ya?? Makanya aku sudah bilang kan kamu pulang aja.” Kata cewek itu setelah beberapa detik yang lalu dia tertawa. Ia menghapus air matanya dari pelupuk matanya. “Aku bercanda kok. Aku Lina. Kamu??” Katanya lagi
            “Eh, aku Yuri.” Kataku sambil menarik tanganku dari gengaman tangannya.
            “Ow, Yuri toh. Salam kenal Yuri.” Kata sambil mengulurkan tangannya dan meraih tanganku untuk berjabat tangan.
            “Kamu ini bikin aku takut aja deh.” Kataku cepat – cepat menepis tangannya.
            “Ya, maaf deh habisnya kamu ngikutin aku terus sih kan aku gak enak jadinya.”
            “Aku gak punya tujuan lagi.” Kataku pasrah sambil menunduk kebawah dan kembali berjalan mengikuti Lina.
            “Emangnya kamu gak punya rumah apa?? Orang tua kamu pasti cemas tuh.” Kata Lina begitu dia berhenti di depan rumah. Ia memandang ke arah rumah itu matanya berkaca – kaca.
            “Ini rumahmu??” Kataku sambil ikutan menatap rumah itu. Rumah ini sepertinya milik orang kaya. Dan aku rasa itu bukan punya dia toh dia gak kelihatan seperti orang kaya.
            “Ya, bukanlah. Mana mungkin aku tinggal di rumah sebesar itu. Kalau aku tinggal disitu aku kan gak perlu jualan koran lagi.” Katanya dan kembali melanjutkan perjalanan meninggalkan rumah tadi. Aku menatap rumah itu sebentar dan segera kembali mengikuti langkah Lina.
            Kini Lina berhenti di depan rumah. Sepertinya ini rumahnya. Ia mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu serta mempersilahkan aku masuk. Rumahnya kecil tapi didalamnya benar – benar rapi. Aku dulu sempat membayangkan rumah orang miskin itu bakal kumuh dan jorok. Tapi rumah Lina benar – benar berbeda, disebelah kiri terdapat dapur dan disebelah kanan terdapat WC dan di tengah ruangan sepertinya ruang tidur sekaligus ruang tamu. Perabotan yang minim tapi tersusun rapi dan malah itu membuat rumahnya terlihat luas. TV, meja, tempat tidur, kulkas serta rak buku itu saja yang terdapat di rumah mungilnya itu.
            “Kecil ya?? Ya gini deh tapi mending lah daripada gak punya rumah dan tidur di jalanan aja kan??” Kata Lina sambil mengelurkan botol berisi air putih dari kulkas.
            “Kecil sih tapi lengkap.” Kataku sambil tertawa dan menerima botol air. Aku mengikutinya duduk di dekat meja.
            “Kamu kan cuma jualan koran kok bisa beli perabotan – perabotan yang bisa dibilang lumayan mahal lah.” Kataku lagi.
            “Warisan.” Katak Lina singkat ia mulai mengganti ganti channel televisi.
            “Ha?? Warisan dari sapa??”
            “Orang tuaku.”
            “Eh, maaf.” Kataku menyadari sesuatu dari kata – kata ‘warisan’. Aku ikut diam menoton acara televisi. Itu artinya sekarang dia sendirian dong. Aku masih beruntung masih punya keluarga dan juga hidup dalam kemewahan. Berbeda dengannya yang mencari uang sendiri padahal dia sepertinya seumuran denganku.
            “Lalu… Gimana denganmu??” Kata Lina memulai pembicaraan dan memecahkan keheningan yang tadi terjadi beberapa saat.
            “Ha?? Aku gimananya??” Tanyaku berpura – pura menghindar dari pertanyaannya yang sebenarnya aku sudah tau maksudnya.
            “Udah jangan pura – pura bego.”
            “Ya gitu deh. Sebenarnya lusa itu aku ulang tahun. Waktu seminggu yang lalu aku bilang ke orang tua aku kalau aku ingin merayakan hari ulang tahunku. Dan mereka setuju asal aku sendirilah yang mengurus apa saja yang kuperlukan di pesta ulang tahunku. Tapi tadi tiba – tiba ayah dan ibuku bilang kalau mereka gak bisa hadir di pesta ulang tahunku karena ada urusan pekerjaan. Tentu saja aku marah dan aku bilang kalau mereka itu gak peduli sama sekali aku bilang sama mereka seharusnya mereka itu menyediakan sedikit waktu untukku. Tapi setelah itu ayah dan ibuku malah saling menyalahkan. Ayahku bilang seharusnya sebagai ibu, tidak perlu bekerja dan cukup mengurus rumah saja dan seharusnya juga ibu datang ke pesta ulang tahunku. Tapi ibu yang juga pekerja keras menolak pendapat ayah dan menyalahkan ayah yang memang tidak memperdulikan keluarga. Akhirnya mereka berkelahi berdua mereka bahkan gak sadar waktu aku keluar dari rumah tadi.” Kataku sambil menarik napas karena telah berbicara cukup panjang lebar.
            “Oh…” Kata Lina matanya menatap serius ke arah televisi.
            “Kamu dengerin aku gak tadi??” Kataku merasa tidak yakin kalau Lina mendengarkan cerita panjangku tadi.
            “Iya, iya aku denger kok. Kamu pengecut ya?? Lari dari masalah.” Kata Lina dan matanya tetap menatap kea rah televisi.
            “Kenapa kamu bisa bilang begitu. Aku kan cuma pengen menyelesaikan masalah. Biar mereka itu sadar kalau mereka itu harus lebih memperhatikanku.”
            “Kalau memang kamu ingin menyelesaikan masalah bukan dengan kabur dari rumah harusnya kamu bicara baik – baik dengan mereka. Kalau kamu kabur dari rumah kayak gini gak akan pernah menyelesaikan masalah apapun.”
            Aku hanya diam saja. Kata – kata Lina memang benar seharusnya aku gak lari dari rumah dan berbicara baik – baik dengan kedua orang tuaku. Tapi tadi itu aku sudah terlanjur marah dan gak bisa berpikir jernih lagi jadi aku putusakan deh dengan cepat kalau aku pergi saja dari rumah. Aku melirik ke Lina yang sedang serius menonton telenovela di televisi. Aku mengelus dada dan menghela napas. Aku harusnya bisa lebih bersyukur karena masih punya kedua orang tua yang masih bisa memenuhi kebutuhanku. Tapi aku malah sedih bahkan tadi aku merasa kalau aku orang yang paling tidak beruntung di dunia ini. Tapi nyatanya Lina lebih tidak beruntung dariku tapi dia tetap kelihatan gembira meski hidupnya seperti ini saja.
            “Aku mau tidur. Kamu mau pulang??” Kata Lina tiba – tiba berdiri dan mematikan televisi.
            “Kayaknya hari ini gak.” Kataku pelan. Aku memang sudah menyesal karena lari dari rumah tapi aku juga gengsi dong harus pulang sekarang.
            “Ya, udah kamu tidur di lantai saja ya.” Kata Lina. Aku hanya mengangguk. Dan Lina pun segera melompat ke tempat tidurnya lalu melempar bantal ke arahku dan terlelap. Aku pun mencoba untuk tidur di lantai yang keras yang pastinya berbeda dari tempat tidurku yang empuk.
            Besoknya aku terbangun sambil memegangi pinggangku. Sakit banget deh. Sial memang harusnya aku sudah pulang saja ke rumah dari kemarin jadi aku gak perlu tidur di lantai yang keras kayak gini.
            “Gimana udah mau pulang??” Kata Lina yang tiba – tiba muncul dari balik WC
            “Iya kayaknya aku mau pulang aja deh.” Kataku pasrah mencoba berdiri sambil memegangi pinggangku. “Kamu mau kemana??” Tanyaku lagi sambil melihat jam yang masih menunjukkan pukul 4 pagi dan melihat Lina yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya.
            “Kerja dong.” Kata Lina sambil berkaca seraya membetulkan seragamnya. “Kamu gak sekolah hari ini??” Tanyanya lagi.
            “Aku kan lagi kabur dari rumah.” Kataku singkat sambil mengagumi Lina yang sudah rajin bangun pagi dan pergi kerja. Padahal biasanya jam segini aku masih terlelap. “Aku bantuin ya??” Kataku lagi.
            “Loh, katanya mau pulang. Kalau kamu pulang sekarang kan masih sempat ke sekolah.”
            “Tar aja deh sekolahnya aku pengen nyoba jualan koran juga deh. Plis, hari ini aja. Tar waktu kamu pergi kesekolah aku pulang deh.” Kataku memohon. Dan segera melompat ke kamar mandi. Dengan secepat kilat aku mandi seadaanya yang penting kesiram deh daripada tar Lina ninggalin aku.
            Lina mengulurkan koran – koran bagianku yang harus aku jual hari ini. Aku menerima koran – koran tersebut dan mulai berpisah dari Lina. Kami sudah putuskan tadi untuk berpisah sementara dan setelah pukul 6 kami kumpul lagi disini.Ternyata menjual koran – koran seperti ini bukanlah pekerjaan mudah. Aku aja yang biasanya ditawarin koran oleh penjual koran di jalanan selalu cuek sekarang justru aku yang dicuekin sama orang – orang yang aku tawarin koran.
            “Cape??” Tanya Lina sambil menghitung uang hasil penjualan korannya.
            “Mayan.” Kataku. Tapi sebenarnya cape banget secara biasanya aku duduk – duduk aja dirumah  apalagi jam segini aku baru bangun biasanya.
            “Udah sana kamu pulang. Aku harus segera ke sekolah nih.”
            “Iya… iya.” Jawabku sambil mencoba berdiri. “Makasi ya.” Kataku lagi.
            “Buat??”
            “Ya, udah dikasih tempat tinggal kemarin trus boleh ikut kamu jualan, nasehat dari kamu. Pokoknya semuanya aja deh. Makasi ya.” Kataku. Lalu aku mengeluarkan sebuah kartu dari tasku dan keberikan ke Lina.
            “Apa nih?? Undangan pesta ulang tahun??”
            “Yup. Kamu datang ya. Jangan lupa. Kan kamu juga temanku jadi jangan sampai gak datang ya.” Kataku segera berlari menyusuri jalan raya meninggalkan Lina. Kulihat dari sebrang jalan Lina masih menatap kartu undangan itu sambil tersenyum senyum. Aku merasa lega sekarang karena punya teman seperti Lina yang merupakan pekerja keras.
            Saat aku membuka pagar rumah tiba – tiba ayah dan ibuku berhamburan keluar dari rumah dan memelukku. Mereka menangis dan bilang menyesal karena tidak memperhatikan ku. Dan mereka janji padaku bahwa besok mereka akan datang ke pesta ulang tahunku. Aku pun ikut – ikutan menangis di pelukan mereka. Benar seharusnya dari kemarin aku berbicara dengan mereka dengan kepala dingin. Aku menyesal karena sudah membuat mereka khawatir. Aku juga bersyukur aku masih punya orang tua yang bisa membiayaiku. Aku berjanji aku gak akan lagi minta untuk terus menerus dimengerti tapi aku juga akan mulai mencoba mengerti tentang pekerjaan kedua orang tuaku.

Edit Edit..

Ini ni Pas Lagi ngaggur aku edit edit Foto... 
1. Walo Ga seberapa suka yang namanya pink tapi bisa dipahami kalo cewek ternyata cocok ma warna pink jadi pengen cobain gabungin warna pink ini dalam Foto2 aku.. He he he.... Masih tahap belajar sih... 

2. Hitam Putih ato Abu Abu ya ini?? Aku juga bingung ini warnanya apa... Tapi kesannya sendu banget geto deh jadinya....

 
3. Yang ini coret2an tangan... Alias lukisan... Baro belajar juga makanya belom jadi seberapa bagus editannya masih bingung dengannya yang namanya contras makanya jadinya lukisannya kurang jelas... 

;;